gravatar

Cerita Sex - Tante girang ganas part 2

Aku berada tepat dibelakang Tante Mala, kulakukan pijitan-pijitan mulai dari tengah-tengah antara alisnya, biasanya manjur untuk orang yang sakit kepala, terus kebagian kening, pijitan-pijitan ini dilakukan dengan menekan-nekan jari dan seolah2 membuat lingkaran dengan melakukan putaran2 kecil. Kemudian berlanjut kesebelah pinggir diatas kuping, terus keatas dan kebelakang kepala, diurut secara halus searah. Ini dilakukan berulang-ulang. (kok jadi ngajarin mijit ?, ya udah untuk anda yang berminat serius mengenai ilmu permijitan, silahkan mencari guru yang tepat, atau anda dapat membaca gratis disudut2 toko buku mengenai masalah permijitan ini, dengan catatan bukunya tidak diplastikin !)


Dengan posisi berdiri diatas lutut, otomatis membuat aku lebih tinggi diatas Tante Mala, posisi kepala Tante Mala tepat dibawah daguku. Dari posisi ini, aku dapat melihat kesegala arah, tanpa sengaja, sambil memijit aku melihat ke arah depan tepat ke arah kaca rias. Kulihat kearah cermin sana, seraut wajah polos diriku sedang menatap, tersipu malu. Tanpa sengaja pandangan mataku turun kebawah, kulihat dibelakang cermin, tampak Tante Mala, dengan wajah cantik, seksi dengan rambut terurai, menunduk dengan mata sayu, sesekali terpejam, menikmati pijitanku.

Mataku sesaat terpaku, hentikan pijitan sejenak, dicermin sana tak sengaja pandanganku mengarah kebawah wajah Tante Mala, terlihat belahan dada tante mala, dengan baju tidur yang berdada rendah, begitu indah, memperlihatkan hampir seluruh garis yang membelah dadanya, bagaikan sungai yang mengalir membelah dua gunung kembar. Terlihat mungkin hampir dua pertiga dari bagian dadanya, bergayut mantap. Sesaat terpana menatap pemandangan seperti ini, berusaha mengalihkan pandangan, aku menunduk. Dan justru itu malah membuat pikiranku semakin melenceng.
Dengan baju tidur yang hanya mengandalkan 2 cm kain yang bergantung pada kiri kanan pundaknya, dengan posisi kepalaku disebelah kanan atas kepalanya, dalam tundukku, pandanganku malah melihat secara langsung dari atas kedua payudara indah itu !. Tampak didepan mataku, beberapa jengkal disana, bergayut indah, sepasang payudara, dengan dilapisi kulit nan putih, menanjak terjal, membuktikan bahwa sepasang payudara ini, masih kencang, walaupun tanpa ada penyangga, mampu berdiri kokoh. Terlihat relung jurang yang cukup dalam diantaranya, menandakan betapa besar dan megahnya 2 buah bukit kembar ini.
Tak berani aku memandangnya lama-lama, memalingkan pandangan berusaha menjauhkan pikiran kotor dari benakku, dan melanjutkan pijitan2. Untuk menghindari hal tersebut aku mulai mendudukkan pantatku diatas betisku, aku mulai melakukan pijitan2 kebagian leher dan bagian punggung Tante Mala.

Tapi entahlah, pikiran2 tersebut bukannya menghilang dari otakku, malah makin menguasaiku semakin jauh. Rasa penasaran yang menghinggapiku membuatku serasa ingin melihatnya lagi, dan terus ingin lagi. Sehingga bagaikan seorang pemijat profesional, sering aku melakukan adegan yang sama berulang2, layaknya ada sutradara yang menyuruhku.

Sesuatu yang berada di dalam celana pendek hawai tipis, belel, ini mulai terusik. Seperti ular yang terbangun dari tidurnya, yang semula diam, damai, tenang, tentrem kerto raharjo, mulai menggeliat waspada.
Entah darimana datangnya keinginan ini, dalam posisiku yang sedang memijit, kadang untuk memijit bagian depan kepala, tak sengaja badanku miring untuk menggapainya, awalnya tak sengaja Dedeku ini menekan punggung sang Tante. Ada sensasi yang kurasakan saat adanya tekanan dari badanku ke punggung Tante Mala. Kadang seperti ada yang menuntunku, membimbing tanganku untuk meraba bagian pinggir dada Tante Mala, beberapa cm dibawah ketiaknya, kadang lebih maju, hanya sekedar untuk meraba selintas. Kadang aku memijit bagian pundaknya dengan mengarahkan pijitan ke arah dadanya, membelai halus kaki gunung seolah memijit bagian itu merupakan keharusan, agar tak salah urat.

Hal ini terus terjadi berulang-ulang, dan jelas hal ini makin membuat sang ular menjadi terusik, sehingga semakin membesar tak terkendali. Menit demi menit berlalu, entah beberapa kali dalam beberapa menit kulakukan hal itu, aku sendiri antara sadar dan tak sadar mengulanginya, entah apakah dalam terpejamnya, Tante Mala menyadari akan hal itu, hingga.....
“Fan, cukup Fan, enak sekali pijitan kamu ”, katanya sambil menggerakkan tubuhnya menjauh dariku. Dengan gugup aku melepaskan kedua tanganku dari pundaknya, ada rasa takut melingkupiku, takut bahwa Tante Mala menyadari ada rasa tak nyaman akibat adanya tekanan dan gesekan dari dedeku dipunggungnya, dan berniat menyudahinya. Aku juga takut, karena dengan memiringkan tubuh menyampingiku dan menengokan muka kearahku, dedeku yang masih tegang mengakibatkan adanya tonjolan di celanaku dapat terlihat olehnya, salah tingkah aku jadinya. Untunglah aku menyadari hal itu, hingga dengan segera aku menurunkan tanganku dan menyilangkannya didepan lututku seakan2 menutupi adanya tonjolan dimataku.

“Fan, sekalian ya Fan, tolong kamu pijitin kaki dan badan tante, pegal banget Fan, gpp kan Fan ?” Duh, untunglah tante Mala tidak menyadari keadaanku, kalo seandainya dia tau apa yang kulakukan mungkin aku didampratnya, ditempelengnya aku, dan berteriak sambil menunjuk ke pintu, “Keluar, keluar kamu.. dasar anak kurang ajar !” serta merta mengusirku, menyuruhku pergi malam itu juga, duh, untung... untung.. batinku bersyukur....

Dalam kegugupanku aku hanya menjawab singkat “Ya Tante, Gpp”, sambil menatap sekilas kearah matanya, tampak sayu, mungkin beliau sudah ngantuk. “Tante sambil rebahan ya Fan, itu minyak gosoknya yang tadi kamu bawa, pake aja biar mijitnya licin, gak seret” sahutnya lagi sambil menunjuk ke arah sisi ranjang, serta membalikkan badannya dan langsung berbaring.

Aku menengok ke arah tempat minyak gosok itu berada, bergerak menggeser badanku untuk meraihnya, dan berbalik kembali ke arah ujung kaki Tante Mala berada. Tertegun aku, seakan melihat sesuatu yang mengherankanku, betapa tidak, didepanku saat ini, terbaring menelungkup sesosok tubuh, putih mulus, dengan kaki jenjang, layaknya kaki peragawati, meminta untuk dipegang, dibelai, disentuh halus. Dengan baju tidur yang menurutku terlalu pendek, seharusnya ada pasangannya, entah itu celana pendek atau panjang agar dapat menutupi bagian bawahnya.
Pakaian yang berfungsi menutupi tubuh putih mulus yang berada didepanku ini, kulihat kemampuannya hanya setengahnya saja, dari sebatas punggung, bawah ketiak, hanya sampai kurang lebih setelapak tangan saja dari pangkal pahanya. Seandainya saja aku menundukkan kepalaku sedikit saja, maka belahan pantatnya pasti terlihat jelas.

Aku beringsut mendekatinya, duduk bersimpuh disebelahnya, dekat lututnya, mengoleskan minyak gosok ditanganku, mulai memijit kaki kirinya, bagian telapak disusul kemudian betisnya, entah beberapa lama, kulihat Tante Mala tampak memiringkan wajahnya diatas bantal, dengan mata terpejam. Pijitanku berpindah ke kaki kanannya, sama seperti tadi, telapak tangan kemudian disusul betisnya hingga ke lutut. “Terus Fan, keatas” terdengar lirih suara Tante Mala, aku tidak menjawabnya, hanya mengiyakannya dalam hati, pada saat itu entah apa yang berada didalam otakku.

Aku meneruskan pijitanku ke atas, dari lututnya hanya sampai batas bawah baju tidurnya, paha putih mulus didepanku, yang beberapa bulan ini selalu kulihat, hingga kadang aku membayangkan untuk menyentuh dan membelainya, kini berada didepanku, tanpa kumintapun aku disuruh untuk memegangnya bahkan meremas-remasnya. Kesentuh paha jenjang yang menurutku cukup kencang, karena memang selalu dijaga oleh sang empunya dengan selalu berolah raga, semakin hanyut aku dengan terus menyentuhnya.

Sifat manusia memang tidak pernah merasa puas, ketika kita melihat postur tubuh bagus, sintal, proporsional dengan pakaian lengkap menutupi seluruh tubuh, kita selalu membayangkan bagaimana bila tubuh yang tertutup ini sedikit terbuka, sehingga timbul rasa penasaran kita. Namun apabila kita sedikit saja melihat tubuh terbuka, maka kita akan membayangkan seandainya saja tubuh itu terbuka semua. Begitu juga dengan aku, saat melihat tubuh mulus tanteku, aku membayangkan seandainya saja aku dapat menyentuhnya. Dan kini aku dapat menyentuhnya, merabanya, sampai sebatas paha, sudah puaskah aku ?

Jawabnya “Tidak” saudara-saudaraku, entah setan mana yang merasuk didalam diriku, ketika aku memijit dan mengurut paha Tante Mala, ada pikiran lain didalam diriku untuk melihat dan merabanya lebih jauh.
Kadang apabila kita dalam situasi bagaimanapun, otak kita masih sempat berpikir, segala cara dan taktik jitu kita pikirkan untuk memenangkan pertarungan, betapapun terjepitnya posisi kita. Itu yang aku alami, dalam rasa khawatir dan sedikit rasa takut, berpikir keras bagaimana caranya agar dapat menikmati “lebih”.

Kupandang sejenak wajah Tante Mala, dalam posisi kepala miring kekiri, dengan mata terpejam, kudengar dengkur halus. Otakku terus berpikir, apakah Tante Mala benar sudah tertidur ? Pulaskah tidurnya ? ataukah beliau hanya tidur2 ayam saja, memejamkan mata sambil menikmati pijatanku ?.... kucari jawabannya.

Otak iblisku mulai berjalan, kuangkat telapak kaki kirinya perlahan, kupijit buku jarinya dengan pelan dan semakin lama semakin keras, seolah mengikuti gaya pijit refleksi. Tidak ada reaksi dari Tante Mala, tidak ada erangan mengaduh ataupun jeritan kecil, hanya ada gerakan dari kakinya menyentak, reaksi reflek biasa. Kuangkat sedikit kaki kiri tersebut hingga sebagian pahanya ikut terangkat, kuletakkan menjauh dari kaki kanan, sehingga otomatis didepanku tergeletak sesosok tubuh tertelungkup dengan paha kencang, putih, mulus yang terbuka lebar !.

Dalam posisi seperti itu, aku beringsut mendudukkan diriku, ditengah, tepat diantara kedua lututnya. Kubalurkan minyak gosok dipermukaan paha nan mulus kencang itu, kulakukan pijitan2 halus dengan kedua tanganku, memijit kedua pahanya secara bersamaan, kudorong pelan menyusuri permukaannya. Dengan sengaja gerakan pijatanku makin kuarahkan keatas, mendorong pelan dan berulang2, centi demi centi baju tidur yang menutupi tubuh Tante Mala makin terdorong keatas, hingga ujung bawah baju tidur itu hanya menutupi bagian pantatnya setengah saja !.

Ada keheranan bercampur terkejut kurasakan, kulihat dan kuperhatikan, bahwa pantat Tante Mala yang putih, bulat, munjung itu, seperti layaknya bongkahan batu pualam. Dan yang menambah keterkejutanku adalah bahwa saat itu beliau tidak menggunakan celana dalam !!!.

Mulanya aku tidak menyadarinya, dalam benakku sama sekali tidak ada pikiran ataupun bayangan bahwa Tante Mala tidak menggunakan celana dalam. Terdiam aku untuk sesaat, kemudian meneruskan apa yang telah kulakukan tadi, ada rasa kekhawatiran seandainya aku menghentikan pijatanku malah itu justru membuat Tante mala terbangun.
Kelanjutkan proses pemijatan, dengan kedua tanganku, kuraba dan kudorong urat2 pada paha bagian belakang, mulai dari lutut hingga pantat seolah2 meluruskan urat2 yang kaku, ketika pijatanku mencapai belakang pantatnya kuremas-remas dan kutekan, ada sensasi yang kurasakan.
Kulakukan itu terus berulang-ulang, pikiranku makin jauh melayang.

Kuperhatikan lebih seksama, Tante Mala tampak terpejam, mungkin 15 menit telah berlalu dari saat aku mulai melakukan pijitan. Tampak beliau benar-benar tidur pulas, tapi biar bagaimanapun aku harus memastikannya. Kutekan pantatnya dengan kedua tanganku serta kuremas Tidak ada reaksi, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya, untuk menyuruhku berhenti atau memintaku memijatnya didaerah tertentu, hanya kudengar suara dengkur halus diiringi dengan bunyi napas teratur.

Lagi, ada keinginan untuk mencari sensasi yang “lebih”, aku bangun, meletakkan kaki kananku disamping paha kanannya dan meletakkan kaki kiriku disamping kaki kirinya, seolah2 aku mengangkanginya, selanjutnya aku duduk diatas pantatnya, sedikit kebawah, sehingga memposisikan dedeku tepat menempel dibawah garis pantatnya, memajukan badanku seakan-akan kulakukan pijitan untuk menggapai punggung Tante Mala.

Kulakukan pijitan2 namun lebih tepat dikatakan, remasan-remasan pada pantat dan punggung Tante Mala, kurasakan dan kunikmati sensasi ini. Dedeku semakin membesar, mengeras tak terkendali, aku membayangkan seolah2 Dedeku melakukan tugas penyusupan ke celah garis yang membelah kedua pantat Tante Mala yang putih, mulus, bebas dempul bagaikan batu pualam.
Namun ada tembok penghalang berupa dua lembar bahan katun tipis dan itu berasal dariku, celana pendekku dan celana dalamku !.
Detik demi detik, menit demi menit berlalu, pikiranku semakin melenceng jauh. Kupegang dedeku, tegang mengeras, kuangkat pantatku perlahan, kuturunkan perlahan tali karet bagian depan celana hawai tipis belel sekaligus dengan celana dalam putih kusamnya, sampai kebawah buah zakarku yang menahannya untuk tidak kembali keatas menutup, sehingga dedeku melesat keluar, bagaikan ular yang keluar dari lobang tempatnya mengeram.
Kutempelkan batang dedeku, tepat menempel ditengah garis vertikal yang membelah dua bukit pantat nan indah itu. Terpejam kusesat menikmati fantasi liarku, tanganku kembali kuletakkan diatas pantat Tante Mala, kuraih ujung bawah baju tidurnya, kuangkat keatas, menutupi batang kemaluanku. Entah kenapa kulakukan ini, seperti ada rasa khawatir dan malu apabila orang ada yang mengetahui ulahku ini. Atau aku hanya berjaga saja apabila Tante mala terbangun, mengangkat kepalanya, menengok ke arahku dan melihat apa yang kulakukan.
Namun itu belumlah terjadi, kulakukan gerakan-gerakan memijat layaknya seorang profesional, namun gerakan2 itu sebenarnya hanyalah kamuflase belaka, dimana gerakan2 yang lebih utama adalah gerakan2 dari pantatku yang bergoyang pelan berusaha untuk menggesekkan batang kemaluanku ke pantat tante Mala.

Entah beberapa menit berlalu, belum ada sensasi yang lebih menggetarkan, ketika tiba2 kulihat gerakan dari kepala Tante Maya, tercekat aku menyadari akan adanya bahaya datang. Sejenak terdiam, namun seolah ada yang menuntunku, dengan reflek cepat aku segera mengangkat pantatku, menarik karet celanaku, melepaskannya hingga menutupi kemaluanku, mengangkat kaki kiriku dan meletakkannya disamping kaki kananku, sehingga apabila dia melihat aku dalam posisi seperti ini, aku seperti sedang jongkok di sebelah kanan Tante Maya, serius sedang memijitinya !!!.
Sejenak kuterdiam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, kulihat Tante Maya mengangkat kepalanya, tanpa membuka matanya, memiringkan tubuhnya kemudian membalikkannya sehingga posisinya saat ini adalah terlentang dihadapanku !.
Tertegun aku menatapnya, jantungku berdegup kencang, menyaksikan pemandangan yang baru pertama kali kulihat ini, kini didepanku, didepan mataku sendiri, berbaring sesosok tubuh wanita cantik dengan kulit putih, mulus, kaki jenjang, menantiku untuk melakukan sesuatu padanya. Dadaku semakin berdetak kencang, saat kuperhatikan bahwa baju tidur yang dikenakannya, telah tertarik keatas, hanya menutupi sebatas pinggulnya saja, memperlihatkan kemaluannya yang ditutupi rambut hitam yang cukup lebat. Kuperhatikan lagi keatas kearah dada, kulihat baju tidur dengan potongan dada yang rendah, memperlihatkan sebagian besar gunung kembarnya, hanya sepertiganya saja yang tertutup, yang mencegah agar putingnya tidak menyembul keluar.

Gugup aku melihat itu semua, gemetar menyaksikan indahnya pemandangan dihadapanku. Takut aku kalo seandainya Tante Mala sadar dan terbangun, serta menyaksikan aku berada disampingnya, takjub menatap dirinya. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu.
Sadarkah Tante Maya dengan keadaan dirinya ? Apakah beliau memang benar2 tertidur pulas sehingga tidak menyadari bahwa ia tidur dengan posisi seperti itu dan tidak sadar bahwa aku ada disampingnya ? Apakah dia tidur seperti ini akibat obat yang tadi kuberikan dan diminum olehnya ? Seingat dan sepengetahuanku, memang bahwa biasanya obat flu dapat mengakibatkan efek mengantuk, namun kalo memang ini benar, dengan dosis 2 kali lipat dari yang dianjurkan, dapat mengakibatkan efeknya juga menjadi 2 kali lipat, seperti yang dialami oleh Tante Mala, ini sungguh yang luar biasa.
Belum lagi kalo kuperhatikan bahwa Tante Mala memang mempunyai sifat “pelor” yang artinya nempel molor, gampang sekali tertidur nyenyak seperti komentar Maya yang aku ingat, bahwa bila ibunya tidur, terutama bila tidurnya baru saja dimulai, jangankan digoyang-goyang ada gempa bumipun sang Mama belum tentu terbangun.

Ada keinginan yang bertolak belakang dihatiku, keinginanku yang pertama adalah beranjak bangun, turun dari ranjang itu, pergi segera keluar kamarnya, dan meninggalkannya tidur. Namun disisi lain ada keinginan untuk tetap berada disitu, menikmati apa yang disuguhkan kepadaku, dengan alasan bahwa ini adalah pengalaman pertama dan satu-satunya bagiku dan mungkin tidak ada kesempatan lain untuk menikmatinya. Entahlah aku tertegun sejenak, melihat kesekeliling, memastikan bahwa keadaan aman dan menatap cermin di samping kananku, tampak wajahku yang tadinya polos tersenyum kini terlihat semu dan ada sepasang tanduk yang tumbuh dikeningku, menyeringai penuh kemenangan.

Entah apa yang membuat keberanianku meningkat, aku melakukan hal seperti yang kulakukan saat awal aku memijit tante Mala, namun ini dilakukan dengan posisi tubuh Tante Mala terlentang. Kupegang kaki tante maya, memijitnya sejenak dan mengangkatnya serta menaruhnya menjauh, membuat posisi kakinya terbuka lebar. Aku beringsut duduk diantara celah kedua pahanya, mengambil posisi senyaman mungkin, tanpa melepaskan pijitan2 yang kuberikan diantara lutut dan pahanya bagian dalam.
Kutelusuri lurus bagian dalam paha Sang Tante, mulai dari lutut, pelan dan semakin pelan hingga pijitanku lebih terasa bagaikan rabaan, hingga mencapai pangkal paha dan berujung di pinggiran bukit kemaluannya. Saat aku mendorong urat bagian dalam pahanya untuk memijat, menggunakan telapak tangan, terus keatas, mencapai pangkal pahanya hingga menyentuh sudut segitiga didepannya, kugerakkan ibu jariku untuk menyentuh bagian dalam labium mayora-nya, menggeseknya, menggodanya untuk bereaksi, kutarik lagi tanganku mengurutnya dari lutut dan mendorongnya kembali keatas, menggodanya lagi.

Hal itu terus menerus kulakukan, sambil memperlihatkan sikap waspada, didepanku wajah sang tante, dengan mata terpejam, diiringi suara dengkuran halus dan dada tampak turun naik dengan napasnya yang terlihat semakin tak beraturan, tersenyum, seolah ikut menikmati sensasi yang kuberikan. Sampai beberapa menit kemudian, ketika kulihat dan kurasakan, vag|na yang semula kering, kini mulai basah, seolah ada yang menyiramnya dengan cairan yang membuatnya jadi licin.

Kulirik ke cermin di sampingku, seolah meminta persetujuan atas apa yang akan kulakukan pada wajah diseberang sana. Entah apa lagi yang ada dipikiranku, kuangkat keatas kedua kaki Tante Mala bergantian, menaruhnya diatas pahaku, meluruskan kakiku, membuat posisi beliau sekarang adalah berbaring dengan lutut berada diatas, dengan kaki aku berada dibawah lututnya menyilang, aku duduk ditengah2nya, sehingga membuat dedeku berada dalam posisi rapat dengan vag|nanya.

Kugesek-gesekkan bagian bawah batang dedeku dengan bagian luar vag|na sang tante, ada rasa geli bercampur nikmat disitu. Kuberanikan diri, kujulurkan tanganku menggapai ke depan, menyentuh halus bagian atas dada Tanta Mala yang tidak tertutup oleh baju tidurnya, hanya menyentuhnya tanpa melakukan apapun.
“Aku ingin lebih !” seperti ada keinginan dari hatiku yang berteriak, kutarik karet celana pendekku berikut celana dalamnya dan menurunkannya kebawah, hingga bawah biji kembarku, kepegang dan kubimbing pelan Dedeku, kutempelkan lagi kepala dan batang kemaluanku dibagian bibir vag|na Tante Mala, terdiam aku seakan menikmati sensasi yang timbul, ada perasaan nikmat disana. Kugesekkan lagi, pantatku seolah ikut bergoyang… terus .. terus….

Entah bagaimana bisa terjadi, mungkin akibat gesekanku atau akibat dari napsuku yang meledak, seakan memberikan persetujuan atas apa yang terjadi. Dedeku yang makin keras dan tegang, mencari jalan untuk mencapai kenikmatan lebih, dan tanpa kusadari, Tante Mala menggeserkan lutut dan pahanya keluar, sehingga membuat celah divag|nanya semakin melebar. Tanpa disuruh dan diminta, dedeku yang semula hanya menggesek-gesekkan bagian luar vag|na Tante Mala, menyeruduk masuk menuju lubang kenikmatan.
Ups, tercekat aku atas meluncurnya sang Dede diluar kendali dijalan yang licin, hendak kutarik segera, namun apabila aku menariknya dengan cepat, dan tanpa disengaja membuat gerakan yang mungkin nantinya akan membuat Tante Mala terbangun, bisa celaka aku dalam posisi seperti ini.

Kutahan, sambil aku menahan napas, menunggu reaksi selanjutnya, namun tidak ada reaksi yang signifikan dari yang empunya lahan, tidak ada tindakan representatif. Entah bagaimana, bukannya aku mencabutnya akan tetapi aku malah makin mendorongnya jauh lebih kedalam. Perlahan-perlahan sekali, melakukan infiltrasi kedaerah musuh tanpa ingin ketahuan.
Mungkin ini adalah insting yang dipunyai oleh manusia, karena tanpa disuruh dan diperintah, ada naluri untuk mencari kenikmatan sendiri, tanpa kuperintah pantatku bergoyang pelan, menarik sang pen|s dan mendorongnya kembali agar menimbulkan gaya gesekan.

Merasa bahwa yang kulakukan ini tidak mengganggu sang pemilik, ada rasa aman dan dorongan lain untuk mencari sensasi lebih jauh, kearahkan lagi tanganku ke dadanya, menyentuhnya perlahan, merabanya dan mengelus-elusnya. Kulihat ke arah wajah Tante Mala, tidak ada perubahan apapun, hanya kulihat dadanya turun naik menandakan desah napas tak beraturan.
Perlahan, bagian dada baju tidurnya yang menutupi sebagian kecil area payudaranya, kutarik dan kuturunkan, memaksa agar mengendur, meletakkannya dibawah payudaranya agar memperlihatkan semua bagian yang disembunyikannya. 
Semakin banyak sensasi yang diberikan semakin banyak pula aku memintanya, aku yang semula hanya menempelkan batang pen|sku kebagian luar vag|na sang Tante, akhirnya masuk kedalam, Aku yang mulanya hanya ingin menancapkannya dan menikmati sensasi kehangatan dalam ruangan, mulai menggesekkannya. Dan aku yang mulanya hanya menggesekkannya pelan, kini mulai menggesekkan secara cepat untuk menghasilkan panas yang timbul akibat adanya gaya gesekan. Aku yang mulanya hanya ingin meraba dan menyentuh payudaranya dengan halus, kini mulai menekan dan meremas remasnya. Bahkan kini aku mulai memijiti dan menjepit puting payudara Tante Mala.

Tidak seperti yang kubayangkan dan kubaca dalam cerita2 yang berbau seks. Banyak wanita berkulit putih selalu diceritakan berputing merah muda, tidak seperti yang sekarang kulihat, puting tante Mala tampak berwarna coklat kehitam-hitaman dengan dikelilingi lingkaran sewarna yang berdiameter sekitar 2 cm. entahlah apakah Tante Mala menyadari adanya kenikmatan yang kuberikan atau tidak, hanya kedengar erangan disertai dengkuran halus dengan ritme pernapasan yang cepat, mungkin beliau seakan bermimpi melakukan seks dengan sang suami.
“Hhhmmm…terus sayang, terus”, sambil memaju mundurkan pantatku, mendorong agar pen|sku mendapatkan kenikmatan lebih, aku terus meremas-remas payudara Tante Mala, yang tampaknya semakin mengeras dan putting yang semakin tegak mencuat. Otakku terus menerus memerintahkan aku untuk melakukan hal ini, seolah membenarkan diriku untuk “membantu” sang tante menyalurkan hasrat seksualnya, yang mungkin dalam beberapa minggu ini tidak tersalurkan akibat ditinggal pergi sang suami.

Menit demi menit berlalu, entah beberapa menit kemudian, mungkin karena memang Dedeku telah tegang dari beberapa jam sebelum ini, penetrasi yang kulakukan nampaknya akan segera berakhir, kurasakan diujung dedeku seakan ada sesuatu yang akan meledak. Kutarik cepat batang pen|sku, kukeluarkan segera dari lubang vag|na Tante Mala, kutarik celana pendek berikut celana dalamnya sekalian, kutumpahkan cairan yang melesak keluar, menghempaskannya.
Terduduk lemas.




Ada perasaan menyesal setelah kulakukan ini, kuperhatikan wajah Tanteku, diam terpejam seolah tak menyadari apa yang telah kulakukan padanya. Masih tertidur pulas.
Pelan aku beringsut beranjak bangun, melangkahinya dan turun dari ranjang, berjalan kearah pintu, menutup pintunya perlahan, melihat sekeliling, memastikan bahwa semua aman.

Masuk kedalam kamar, menghempaskan badan ke ranjang tempat tidur, melirik jam di dinding kamarku, terdengar jelas suara detaknya, jam 2 kurang 5 menit. Menatap langit-langit kamarku, mengingat2 akan apa yang baru saja terjadi, memikirkan mengapa semua ini bisa terjadi.
Membayangkan akan apa yang akan terjadi besok.

Apakah Tante mala tahu apa yang kulakukan padanya ? Apa yang akan dilakukan Tante Mala kepadaku jika dia menyadari apa yang telah kulakukan ? Apakah Tante Mala akan memarahiku habis2an ? Mendampratku ? Mengusirku dan memberitahukan kejadian ini kepada keluargaku ? Apa yang akan dilakukan oleh Anak-anak tante Mala kepadaku jika mereka tahu apa yang kulakukan pada mamanya ?
Apa yang harus kulakukan ? Apakah aku harus pergi dari sini ? menghilang ? kabur ? kapan ? sekarang ? malam ini juga ? ataukah aku menunggu sampai besok ? menunggu untuk mengetahui apa yang akan terjadi besok ?

Entahlah, sejuta pertanyaan menyelimutiku...
Apabila memang besok ..ternyata Tante Mala mengetahui apa yang telah dilakukan olehku kepadanya, mungkin aku hanya akan berkata “Ampun Tante..... ampun.....!”

Dan jam dinding pun terus berdetak, mengantarku menjemput hari esok...!

------------------------------------------------------------

Aku menggeliat, sementara mataku terpejam, enggan untuk membuka mata, mengejangkan seluruh otot2 punggung dengan mendorongkan perut kedepan dan menarik dada kepunggung, melengkungkan tubuhku. Mendorong keatas kepala kedua lenganku, seakan menyuruhnya menarik otot2 punggungku, menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, sambil menggeram layaknya beruang yang terbangun dari dari tidurnya.
Kupaksa membuka mataku, melirik jam yang terpaku di dinding sebelah atas kiri belakangku, menatap sekejap, “Ya ampun, sudah jam 10 lewat !” ujarku dalam hati, seraya bangun dari tidurku dan menjejakkan kaki kelantai kamar, enggan rasanya bangkit dari ranjangku, kembali aku duduk, menjuntaikan kaki dibibir ranjang dan terdiam sejenak.
Sinar matahari tampak menembus jendela kamarku, membuat tirai warna merah jambon itu seperti menyala, cahaya yang masuk melewati ventilasi atas menerangi seluruh isi kamarku, seakan memberitahukan bahwa walaupun tirai ditutup tapi hari telah menjelang siang.

Memikirkan kejadian semalam, ada perasaan yang membuat hatiku tak enak, ada rasa tak tenang, khawatir, serta takut menjadi satu yang menyelimuti dadaku ini. Berjuta pikiran melandaku, aku hanya berharap mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu apa seperti yang kutakutkan. Kubuka kedua telapak tanganku menutupi mukaku, kuusap dan kugosokkan diseluruh wajahku, menaikturunkan seolah kugunakan menutupi keteganganku, kemudian menariknya kesamping kepalaku, melewati kening dan mengurutnya kebelakang. Entahlah, aku harus menghadapinya, apapun yang terjadi.

Dengan berat kuangkat pantatku dari tempat tidur, berjalan kearah jendela kamar, membuka tirai yang menutupi kaca, sejenak mataku memicing, berusaha untuk menembus silaunya matahari. Terdengar kecipak air kolam renang dari bawah sana, seseorang tampak sedang mengarungi kolam renang dari sisi yang satu ke sisi yang lain, tak nampak jelas olehku siapa gerangan yang melakukan aktivitas di hari menjelang siang ini. Entahlah, aku tak tertarik.

Kubuka pintu kamarku yang tidak terkunci sejak semalam, melangkah keluar, berjalan ke lorong menuju tangga, melewati kamar2 dikiri kanannya. Kamar Moza tampak tertutup rapat, terus melewati kamar sesudahnya, tampak kamar Mita dan Maya terbuka sebagian, cukup bagiku untuk melihat kedalamnya, kosong tak berpenghuni, hanya terlihat isi kamar yang masih berantakan, tak peduli aku terus melangkah, menuju tangga dan ada kamar satu lagi yang harus kulewati, kamar Tante mala !.

Ragu dan takut menghinggapiku, berat untuk melangkah terus, bagaikan ada rantai besi dengan gandulan bola besi yang diikatkan ke kakiku. Kulihat disana kamar Tante Mala terbuka lebar, pikiranku semakin kalut, tapi aku terus melangkah.
Kutengok kamar dikiriku, tampak kosong, kutarik napas lega, “Aman !” kataku dalam hati. Kuarahkan mataku sebentar untuk meneliti keadaan isi kamar, tampak disana ranjang yang masih berantakan, seprei yang masih awut-awutan, bantal dan guling yang tergeletak saling silang,
bibirku tersungging seolah tersenyum, melihat arena bekas pertempuran semalam. Lanjut aku malangkah menuruni bawah, menuju dapur untuk membuat kopi, rutinitasku setiap hari. Lengang, rumah ini serasa telah ditinggalkan penghuninya, tak kulihat sesosok tubuhpun di ruang bawah, ke ruang makan, tak kulihat siapapun, hanya kulihat piring dan gelas yang tampak telah digunakan sisa sarapan tadi.

Kulangkah kakiku menuju dapur, menuju ruang dapur yang tak berpintu, menatap pintu diseberang ruangan itu yang setengah terbuka, kalo dilihat dari tempatku berdiri, dapur hanyalah sebuah ruangan antara ruang makan dan pintu belakang yang berhadapan lurus. Aku berbelok menuju rak piring, meraih gelas, dan menaruhnya di meja dapur. Sedikit membungkuk, mengambil kopi dan gula dalam topless yang berada dibaris kedua rak kayu yang memang dibuat khusus untuk ditempatkan di dapur, ada beberapa lemari, dan rak yg dibuat dan disusun sedemikian rupa sehingga dapur dirumah ini terlihat bagus, Kitchen Set, demikian yang kudengar istilah untuk peralatan ini.
Kalau dibandingkan dengan dapur rumahku disana, jauh lah jelas, dapur emakku jangankan pake kitchen set, dengan ruangan 2x2 aja dibelakang udah sukur ada tempat buat masak, lemari juga cuman atu, buat naro segala macem disitu, itu juga udah sukur, bisa ngamanin nasi ma lauk pala ikan, jangan sampe diembat ma kucing garong, jangankan pake lantai keramik seperti ini, dipelester aja udah bagus, disini pake kompor gas yang menyalakannya aja dengan pemantik khusus. Disana mah boro-boro, palingan juga pake kompor minyak tanah, yang kadang untuk menyalakannya musti pake lidi yang direndem minyak dulu sebentar, belum lagi nunggu lama sampai apinya naik ke permukaan kompor, kalo enggak, panci atau penggorengan pantatnya bisa item, kena muka yaa cemonglah muka kita, bisa2 disangka bedak model baru !.

Apesnya pas ada temen kita dateng, biasalah cowok kalo udah ngumpul mo siang mo malem, yang jelas musti ada kopi, dan kita musti inisiatip bikin gak lama setelah mereka datang, jangan sampe deh lagi enak2 ngobrol salah seorang dari teman kita ngelemparin korek api. Kita tanya “buat apaan korek ?, rokok gw masih nyala nih !”, dengan antusias mereka akan bilang, “buat nyalain kompor, udah seret nih tenggorokan ngomong mulu ma ngerokok, gak ada kopinya !”. Mau gak mau deh bergegas kita ngambil tuh korek dan nyalain kompor buat masak aer, mending kalo pas kita nyalain tuh kompor langsung nyala, nah ini malah sebaliknya, terpaksa deh kita lari terbirit-birit ke warung terdekat hanya sekedar buat beli minyak tanah seleter !.

Kuambil kopi dan gula dengan sendok kecil didalamnya, kutuangkan ke dalam gelas secukupnya, setelah dirasa cukup dengan racikan kopi layaknya Rudi Chaeruddin sedang demo masak, kutaruh kembali topless gula dan kopi ketempatnya semula. Kuambil termos yg terletak tak jauh dari meja dapur, menuangkan air panasnya kedalam gelas secukupnya, mengaduk dengan sendok hingga larut. (kok kaya baca petunjuk pemakaian ya ?). Kuangkat gelas, kudekatkan ke bibirku, kucicipi rasa kopi didalamnya, pas. Tidak kental dan tidak encer, kuangkat gelas kembali, hendak meminumnya lagi, ketika sekonyong-konyong kudengar suara menyebut namaku.

“Fan”, bagai petir disiang bolong, walaupun kudengar pelan, dibelakangku jelas ada suara memanggilku, dan itu adalah suara Tante Mala !. kupegang gelas dalam keterkejutanku, setengah bergetar, kaget, hingga membuatku menurunkan kembali tanganku yang mengangkat gelas. Deg, jantungku seperti hendak copot, Tante Mala !, ada rasa panik menghinggapiku, duh, jangan2 aku hendak didampratnya, dimarahinya aku habis2an, mengetahui apa yang telah kulakukan semalam terhadapnya. Beliau yang selama ini telah berlaku baik kepadaku, memberikan tumpangan untuk tinggal padaku, membagi makanan kepadaku tanpa meminta bayaran sedikitpun. Hanya sekedar meminta aku untuk memijitnya, dan ternyata aku malah menyetubuhinya dikala ia tertidur pulas !.

Dengan gugup aku membalikkan badan, mencari arah sumber suara tersebut. Kini kurang lebih 2 meter dihadapanku berdiri sesosok tubuh, kudongakkan kepalaku, memberanikan diri untuk menatapnya wajahnya, tampak tersenyum, jauh dari kesan sangat, menampakkan wajah amarah, malah kulihat ia memberikan senyuman, ceria, kulihat wajahnya yang cantik, tampak segar dengan rambutnya yang basah.




“Fan, duh kirain Tante siapa ?, kamu baru bangun toh ?” sapa tanteku, dalam keterkejutanku aku menatap matanya dan berusaha untuk menjawabnya secepat mungkin, “Duh Tante, Fandi juga kaget, kirain gak ada orang, loh barusan Tante renang ya ?, kirain sapa yang berenang, Fandi pikir moza atau mita yang renang “ sahutku cepat, “Bukannya Tante kurang sehat ?, kok malah berenang sih ?, Nanti malah sakit Tan !” kataku lagi menambahkan seolah tak membiarkan Tante Mala melihat rasa kepanikanku. Di dalam hatiku, sesungguhnya aku bersyukur bahwa yang selama ini kutakutkan tidaklah terjadi, duh seandainya tiba2 dia nongol di depanku dan langsung menghardikku, memarahiku dengan sengit, entahlah apa yang harus kulakukan.


“Gak pa pa Fan, Tante udah sehat kok sekarang, mungkin semalam tante capek aja, setelah minum obat dan tidur nyenyak semalam Tante merasa lebih segar kok Fan” jawabnya lagi, Tanpa sengaja aku tertunduk malu saat memandang wajahnya itu, tidak berani aku menatapnya lama.

Chose Your Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic

Postingan Populer